KONSEP IMAMAH DAN KHILAFAH SEBAGAI MANIFESTASI IMAN
Khilafah mengandung makna yang katsrah (banyak), yang diantaranya pemimpin, penguasa, dan yang menggantikan kedudukan orang banyak, sedangkan Immamah menurut bahasa berarti “kepemimpinan”. Imam artinya pemimpin, seperti ketua atau yang lainya, baik ia memberikan petunjuk ataupun menyesatkan.[1] Imam juga di sebut khilafah, yaitu penguasa pemimpin tertinggi rakyat. Kata imam juga bisa di gunakan untuk Al-Quran karena Al Quran itu adalah imam (pedoman) bagi umat islam.
Imamah juga bisa di sebut khilafah. Sebab orang yang menjadi khilafah adalah penguasa tertinggi bagi umat islam yang menggantika nabi SAW. Dan kholifah juga bisa di sebut imamah sebab para kholifah adalah pemimpin (imam) yang wajib di taati[2].
Kata khalifah dan turunannya disebut dalam Al-quran sebanyak 116 kali. Adapun kata khalifah sendiri diulang sebanyak delapan kali, dua kali dalam bentuk tunggal (mufrad) dan, enam kali dalam bentuk jamak (khalaif dan khulafa). Sedangkan kata imamah tidak di sebutkan dalam al-quran, yang ada ialah imam (pemimpin) dan aimmah (pemimpin-pemimpin)[3].
Ibnu Abbas mendefinisikan khalifah dalam ayat 30 surat Al-Baqarah pengganti Allah dalam menegakkan hukum-hukum-Nya di antara para makhluk-Nya. At-Thabari, dengan menggunakan riwayat dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “khalifah”adalah Adam dan keturunannya yang taat kepada perintah dan aturan Allah.
Syaikh Isma’il Al-Birusawi menafsirkan kata khalifah sebagai pemimpin semua makhluk, sedangkan Musthafa Al-Maragi menafsirkannya sebagai manusia yang diberi wahyu oleh Allah tentang syarat-syarat-Nya. Termasuk di dalamnya adalah manusia yang mempunyai kemampuan luar biasa. Dari semua definisi diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam kata khalifah terkandung makna pergantian generasi sebelumnya, kepemimpinan, dan penggantian Allah untuk menegakkan hukum-hukum-Nya dimuka bumi. Ketiga komponen tersebut memperlihatkan tugas manusia sebagai khalifah.
Tugas manusia sebagai khalifah untuk menggantikan generasi sebelumnya diperlihatkan oleh konteks Al-Quran surat Yunus:14 dan ayat sebelumnya. Ayat ini mengisahkan kaum-kaum yang mengingkari kerasulan nabi-nabinya. Setelah menghancurkan mereka, Allah menggantikan mereka generasi-generasi berikutnya. Kandungan ayat itu sekaligus mengisyaratkan bahwa tugas manusia di dunia ini adalah sebagai pengganti dan penerus pendahulunya. Bila melihat konteks Al-Quran surat yunus (10):14, ternyata disamping secara fisik menggantikan generasi-generasi sebelumnya, juga mengganti kebiasaan-kebiasaan mereka yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman (aturan-aturan Allah) yang diistilahkan oleh Al-Quran dengan bayyinat (keterangan-keterangan yang nyata).
Dalam fungsinya sebagai pengganti generasi sebelumnya, manusia dituntut untuk mengubah dan mengoreksi tradisi dan kebiasaan generasi sebelumnya, meskipun mereka menerima tradisi itu secara turun-temurun dari generasi sebelumnya pula, kemudian menggantikannya yang sesuai dengan ajaran-ajaran Allah. Manusia tidak diperkenankan mengikuti tradisi yang bertentangan dengan aturan Allah. Mereka yang melakukan itu digambarkan Al-Quran sebagai binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan (Q.S. Al-Baqarah:171).
Makna kepemimpinan yang di ambil dari kata khalifah diperlihatkan oleh kumpulan ayat berikut Al-Baqarah:30, Yunus:73, Fathir:39, Shad:26, dan An-Naml:62. Rangkaian ayat-ayat ini beserta ayat sebelum atau sesudahnya berkenaan dengan penciptaan langit, bumi dan isinya. Setelah dengan sangat argumentative Allah menggambarkan telah menciptakan keseluruhannya, Ia menuturkan bahwa manusialah sebagai pemimpin seluruhnya itu.
Konsep kepemimpinan yang diambil dari kata khalifah tidak mesti diratikan bahwa seluruh manusia harus menjadi pemimpin politik. Pada dasarnya semua manusia itu adalah pemimpin. Tentang apa dan siapa yang dipimpinnya itu sebenarnya sangat bergantung pada potensi dan kesempatan yang dimilikinya. Itulah sebabnya, Nabi bersabda, “setiap kalian adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawabannya (atas yang dipimpin itu)[4]. Hadis ini sekaligus menggambarkan bahwa kewajiban untuk memimpin disesuaikan dengan kadar dan fasilitas yang dimilikinya. Itu sebabnya pula, pada kelanjutan hadis itu, kita temukan ragam objek yang dipimpin manusia, seperti keluarga, ternak, rumah tangga, dan lain-lainnya.
Terlepas dari kontroversial apakah islam terkait langsung dengan politik atau apakah islam mengatur sistem pemerintah tertentu seperti yang menjadi lahan perdebatan di kalangan para pemikir, perlu diperhatikan bahwa Islam mewajibkan adanya satu kepemimpinan dalam data komunitas social. Banyak ayat Al-Quran yang mendukung dan menyinggung hal ini. Seorang Marxis ahli Islam, Maxim Rodinson, bahkan menegaskan bahwa agama Islam menyuguhkan kepada para pendukungnya suatu proyek kemasyarakatan yang harus diwujudkan dimuka bumi ini.
baca selanjutnya di www.umahblog.blogspot.co.id
Post a Comment